Wednesday, July 2, 2008

Catatan Senja


Senja di sungai Barito selalu tampak indah. Aku tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang demikian memukau ini. Ketenangan dan kedamaian menyatu dalam keindahan desa Anjir di senja ini.

Dari atas jembatan Barito Kuala yang panjangnya satu kilometer lebih ini, mataku bisa menangkap dengan jelas gerak matahari yang turun di balik pepohonana galam di tepi sungai. Sungai Barito jadi menguning kemerahan, serupa sungai emas. Memukau. Satu kedipan pun tak akan kubiarkan demi menikmati pesona senja ini, karena hanya di menit-menit senja sajalah rasanya berton-ton bebanku berubah menjadi kapas, atau bahkan jadi udara.

Dari surau di samping sungai sana, adzan menggema. Mengganti waktu senja menjadi malam. Waktuku berakhir. Perlahan langkahku meningalkan jembatan menuju rumahku yang punya segudang masalah.

Dalam langkah itu, masalahku kembali menjadi besi, berton-ton. Terbayang di benakku kejadian dua hari yang lalu, ketika aku memukuli orang yang meludahi sandalku. “Awas kamu, nanti akan kubalas!!!” Ancaman yang sebenarnya sudah sangat sering kudengar dari orang-orang yang berurusan denganku.

Juga terbayang kejadian kemarin, saat aku tak sengaja memecahkan hiasan dari kaca milik teman sekelasku, Dewi. Padahal hiasan itu adalah hadiah ulang tahun dari pacarnya. Katanya, benda itu cuma dijual di jogja. Dengan apa aku menggantinya?

Arif juga marah sekali denganku. “Hutang kamu yang kemarin saja belum kamu bayar, malah mau hutang lagi!!! Bukan kamu saja yang perlu uang, aku juga perlu!!!” Katanya siang tadi.

Aku terus bejalan sampai di depan rumahku. Ah, mungkin lebih tepatnya gubuk.

Krrrreeeeettt.....

Terdengar suara dari engsel pintu yang sudah diselubungi karat saat pintu itu kubuka, seolah menjerit. Tahu aku datang, adik perempuanku yang baru lima tahun langsung menyerbuku.

“Boneka Berbie-nya sudah kakak belikan?” Tanyanya dengan penuh harap. Terlalu banyak harapan yang digantungkannya padaku, namun tak satu pun yang bisa kuwujudkan.

“Tadi tokonya tutup. Besok saja, ya?” Terpaksa aku berbohong. Ah, kebohongan apa lagi kah yang akan kusuguhkan padanya besok.

Dia berlalu tanpa menjawab, mungkin dia sudah bosan. Aku ke dapur mendekati ibu.

“Beras kita tinggal setengah liter, nak. Tadi Bu Ziah ke rumah menagih hutang,” keluh ibu. Semenjak ayah meninggal akibat dibunuh oleh orang yang sampai sekarang masih tidak diketahui pelakunya, ibu selalu saja mengeluh, dan tentu saja aku yang jadi pendengar setia keluhan beliau.

Untunglah ibu belum terlalu tua, sehingga masih bisa mengurus kedai teh , dan bila musim panen tiba, aku dan ibu bisa mengerjakan sawah orang. Dari situlah kami hidup, dan aku bisa sekolah.

Di luar sana, gelap mulai menebarkan kelamnya. Burung malam di hutan belakang rumah sana telah beterbangan mencari makan. Suara mereka gaduh, seakan semuanya sedang bergembira menunggu purnama.

***

Seperti biasa, mataku tak pernah bisa melewatkan pukauan yang tak mungkin terlukiskan ini. Warna jinga yang terpancar dari rona matahari kian memperteduh suasana, memendar pada gemericik air, melimbah di hamparan sungai bak kristal terbias cahaya.

Senja baru saja mementaskan tarian perpisahannya, merubah langit jadi keemasan. Berdenyar-denyar. Bagai selembar kain sutera raksasa yang bergetar dihembus angin.

Sungguh indah ciptaan Allah ini. Ya, Allah... Sudah lama sekali nama itu menghilang dari kepalaku. Tato naga di pergelanganku menegaskan kalu sekarang betapa jauh aku dengan pemilik nama itu.

Senja kian menua. Angin menerbangkan gema adzan dari moncong mic surau di pinggir sungai. Magrib. Ada asa yang membuncah di hatiku. Aku pun berjalan menuju surau. Mungkin sekaranglah saatnya aku kembali mendekat.

Beberapa langkah setelah aku menuruni jembatan, dua orang bertubuh besar tiba-tiba menyergapku dan membawaku masuk ke hutan galam. Aku berontak, namun tubuh mereka terlalu besar untuk bisa kulawan. Di mana keahlian silat yang kuperoleh selama tujuh tahun?

Di dalam hutan sudah menunggu seorang yang masih kuingat wajahnya. Orang yang kupukuli beberapa hari yang lalu. Segenggam cemas menyelinap dalam dada.

“Hayya ‘alas sholaaaaaaah..........” Adzan masih mengalun lantang.

Orang itu kemudian mengeluarkan belatinya. Tanpa bicara satu kata pun, dia melayangkan mata belatinya ke perutku.

“AAAA....!” Aku menjerit. Meringis. Darah segar deras mengalir saat dia mencabut belatinya.

Tak puas dengan satu tusukan, orang itu lalu menghujaniku dengan tikaman-tikaman belatinya sampai tak bisa lagi kuhitung berapa lubang darah yang dia ciptakan di tubuhku. Pandanganku remang.

Ya Allah, hutangku masih banyak. Jangan matikan aku....!

“Allaahu akbar... Allaa...hu akbar, laa...ilaa...ha illallaa...h....”

Adzan pun berakhir lirih bersama berakhirnya pandanganku. []

Kesungguhan Cinta


2-3-2010

“Boleh ya, Ma…,” rengekku pada mama, “Martapura nggak jauh-jauh amat juga kok…” sambungku dengan sedikit argumen.

“Martapura itu jauh. Apalagi kalo setiap hari harus bolak-balik. Pemborosan!” Mama tak mau kalah.

“Tapi Irfan kan bisa sewa rumah di sana, Ma..”

“Mama malah hawatir kalo kamu tinggal sendirian. Lagian kamu ini Fan, kenapa kamu tidak cari yang baru saja? Masih banyak yang lebih cantik dan lebih baik daripada Winda…”

“Aduh, Ma… Winda itu kan pacar Irfan sejak kelas satu SMP, masa harus putus cuma gara-gara pindah sekolah…?”

“Ya nggak usah putus. Kamu kan bisa ke rumahnya seminggu sekali?”

“Kalo gitu Ma, nanti dia nggak ada yang ngontrol. Bisa-bisa dia malah selingkuh sama cowok di sana…”

“Yah, baiklah kalo gitu. Nanti kalo Papa pulang, Mama rundingin.”

“Yesss,” teriak hatiku lega. Wajah mama cemberut karena kalah berdebat.

6-3-2010

Teng… teng… teng…

Lonceng tanda istirahat berbunyi. Ya, lonceng. Bukan bel seperti di sekolahku sebelumnya. Para siswa berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing. Ada yang ke WC, ke perpustakaan, ke kantor, ke ruang BP, dan yang paling banyak ke kantin. Termasuk di antara yang banyak itu, aku dan tiga teman baruku.

“Kalian silakan makan sepuasnya, gue yang nraktir…!” Seruanku disambut meriah oleh Dedi, Ilham dan Wahyu. Mereka langsung memesan bakso dan mengambil beberapa bungkus cemilan.

“Fan, kamu pindah ke sini sebenarnya kenapa sih?” Ilham memulai pembicaraaan. Air teh yang dihidangkan Amang Dulah segera diaduknya agar gula di dalamnya merata.

“Iih Fan, padahal sakulah ikam SMAVEN itu sakulah papurit di Banjarmasin…” Wahyu ikut nimbrung dengan logat Banjarnya yang masih kental.

“Pacar gue pindah ke sini, jadinya gue juga pindah.”

“Gila kamu ini Fan! Masa cuma gara-gara cewek pindah sekolah kamu juga ikut pindah. Kamu kan bisa cari yang baru lagi di sana,” protes Ilham.

“Dia itu beda,” sanggahku setelah meneguk Fanta yang sudah dituang di gelas dengan sebongkah es, “Gue gak bisa cari cewek lain sesempurna dia,” sambungku kemudian.

“O.. jadi jadi cewek manis yang kemaren baru gue liat itu pacar lu…?” Kali ini Dedi yang bertanya.

“Iya, barangkali. Gue kan gak liat cewek mana yang lu liat itu,” jawabku tenang menghadapi ketiga temanku yang masih tidak percaya.

“Kalo Winda, pindah ke sini kenapa?” Ilham kembali bertanya.

“Gini Ham, ayahnya itu TNI, beliau dipindah tugaskan ke Martapura, jadinya mereka sekeluarga juga pindah supaya nggak capek bolak-balik. Tapi katanya cuma dua tahunan, setelah itu kembali lagi ke Banjarmasin.”

“Hei, Fan! Cewek lu itu yang itu kan?” Selidik Dedi sambil menunjuk seorang cewek yang sedang pesan bakso.

“Mana?” Tanya Ilham pada Dedi. Ingin tahu juga rupanya Ilham dengan pacarku.

“Itu, yang lagi mesan bakso,” Dedi kembali menunjuk cewek tadi.

“Iya, bener,” jawabku menengahi rasa penasaran mereka. “Kalian tunggu bentar ya… !” Aku pun berjalan mendekati Winda.

“Hai sayaaaang…”

“Eh, Irfan. Gimana tadi perkenalan dirinya?”

“Sukses… Eh, Win, ikut yuk?”

“Ke mana?”

“Ke sana.” Tanganku menunjuk ke arah teman-temanku. “Aku mau ngenalin kamu sama mereka.”

“Boleeeh…” jawabnya dengan senyumnya yang selalu manis dan teramat manis.

“Gimana?” Tanyaku pada ketiga temanku setelah selesai memperkenalkan Winda pada mereka dan Winda sudah bergabung dengan teman-teman ceweknya.

Wahyu mengacungkan jempol. Mulutnya tersenyum. “Mun aku nang jadi pacarnya, biar inya sakulah ka bulan tatap ai jua kuumpati,” pujinya.

“Memang betul-betul sempurna !” Aku Ilham.

7-3-2010

“Ah, lega…” Dari tadi aku menahan kencing, karena sebelum istirahat tadi mata pelajaran Sosiologi, Pak Mustafa! Jangankan minta izin ke WC, bersuara sedikit saja kalau ketahuan beliau maka tamparan keras menuju pipi akibatnya. O iya, aku baru ingat. Dedi, Ilham dan Wahyu sudah menungguku dari tadi di kantin. Segera aku menuju kantin dengan setengah berlari.

Bruukk !!!

Seorang cewek berjilbab yang tiba-tiba keluar dari perpustakaan, jatuh terduduk karena bertabrakan denganku. Buku-buku tebal bawaannya jatuh berserakan di lantai. Buku-buku tebal itu semuanya tentang kesehatan.

“Sori… sori… gue tadi gak sengaja… sori ya !” Kupegang tangannya untuk membantunya bangun, namun dia menolak dan memilih berdiri sendiri. Buku-bukunya yang berserakan kukumpulkan. “Nih, buku lu. Sori ya! Gue betul-betul gak sengaja…” Sekilas kulihat wajahnya yang tampak menahan rasa sakit. Cantik. Cantiiik sekali! Apalagi ditambah balutan jilbab putih yang mengelilingi wajahnya yang juga putih, membuatnya semakin anggun. Matanya teduh memancarkan kedamaian.

“Nggak papa. Terima kasih…” Katanya sambil menerima bukunya yang kuserahkan.

Kurasakan atmosfer yang lain dari biasanya, dari semua cewek cantik yang pernah kutemui, bahkan Winda! Dia lebih sempurna daripada Winda. Seketika itu juga sebuah ‘perasaan aneh’ manyusup ke dalam hatiku. Perasaan itu menghilangkan semua yang ada di sana. Ya, aku jatuh cinta padanya. Aku ingin jadi pacarnya, ah bukan, aku ingin jadi miliknya!

Kemudian dia langsung pergi meninggalkanku yang masih tersihir oleh pesonanya. Aku terus memandanginya hingga tubuhnya hilang ditelan pintu kelas XI IPA B.

“Kalian kenal gak sama cewek cantik yang pake jilbab di sekolah ini?” Aku memandang wajah ketiga temanku bergantian dengan mimik serius.

“Kalau cewek cantik berjilbab sih banyak. Emang kelas mana, Fan?” Wajah Ilham tidak serius seperti aku. Santai. Lalu dia kembali menyendok pentol dalam mangkok baksonya.

“Eee…, kalo gak salah kelas XI IPA B.”

“Di kelas itu juga banyak , Fan yang cantik en pake jilbab.”

“Dia suka ke perpus, Ham,” tambahku segera, masih dengan wajah yang serius.

“Kalas XI IPA B, langkar, bajilbab, katuju ka parpus, Samiyah…! Kada salah lagi, pasti Samiyah,” tebak Wahyu.

“Samiyah…,” aku mengulang nama yang disebut oleh Wahyu tadi. Bakso di hadapanku masih belum tersentuh.

“Emang kenapa, Fan? Lu naksir ya?” Selidik Dedi santai.

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaan Dedi. “Mungkin,” tegasku kemudian.

“Terus, Winda cantikmu itu diapakan? Sudah jauh-jauh pindah sekolah demi Winda, masa dibuang gitu aja?”

“Entahlah, Ham… Aku juga bingung. Masalahnya cewek itu lebih sempurna daripada Winda.”

“Tapi Fan, jangan ikam kira mandapatakan Samiyah tu nyaman!” Wahyu mewanti-wanti.

“Emang kenapa, Yu?”

“Dahulu aku sa-MTs lawan inya. Asal ikam tahu haja, inya tu kada suah pacaran saumur-umur. Jangankan pacaran, duduk batatai lakian haja inya indah…”

“Kalo berdiri?”

“Sama ai jua, hungang!!!” Wahyu jengkel.

“Gak papa. Gue malah makin naksir sama dia, gue makin tertantang!” Aku tersenyum. Dedi melongo, mirip huruf O. Wahyu geleng-geleng. Ilham meletakkan jarinya di dahi, “Memang sudah gila,” begitulah mungkin maksudnya.

14-3-2010

“Sayang, sore ini temenin aku ke Mall, ya?” Pinta Winda saat aku baru sampai ke sekolah.

“Wah, kayaknya nggak bisa. Hari ini aku harus beres-beres rumah, soalnya besok Mama sama Papa mau ke rumah.” Kami berjalan berdampingan menuju kelas.

“Kamu kenapa sih, say? Akhir-akhir ini kamu berubah!”

“Aku nggak berubah. Masih kayak dulu. Masih pacar kamu…”

“Nggak! Kamu sudah berubah. Kamu nggak lagi perhatian, kamu nggak lagi romantis, kamu nggak lagi mau luangin waktu buatku, kamu nggak lagi…”

“Sayaaang!!!” Kuhentikan langkahku, lalu kupalingkan badanku menghadapnya. Kedua tangannya kugenggam, “… aku nggak berubah, tapi aku memang bener-bener sibuk… Oke, Win, nanti malam aku ke rumah kamu, kita jalan-jalan…” ucapku sambil menatap matanya lekat-lekat.

“Bener?”

“Iya.”

“Janji?”

“Iya. Senyum dulu dong…!”

Malam ini, setelah mengajaknya makan di KFC, kubawa Winda ke Banjarmasin.

“Ke mana?” Tanya Winda. Malam ini dia cantik sekali dengan kaos ketat panjang berwarna hitam. Di bagian dadanya tertulis Always Love You’. Tulisan itu berkilauan terkena cahaya lampu. Cocok sekali dengan kalungnya yang bermatakan hati.

“Kamu tenang saja…” jawabku pelan.

Honda Jazz-ku terus melaju. Kulihat jam mobil sudah menunjukkan pukul delapan lewat, sedang kami baru di Banjarbaru. Kami melewati bundaran Banjarbaru. Bundaran itu tampak megah karena baru selesai direnovasi. Cahaya lampu yang berwarna-warni menghiasi tugu di tengah-tengah bundaran itu yang tinggi menjulang.

Jam setengah sebelas barulah kami sampai di Banjarmasin, di taman depan SMP Harapan Banua, SMP tempat kami sekolah dulu. Di sebelah taman itu ada sungai yang berkilauan terkena cahaya lampu.

“Masih ingat tempat ini?” Tanyaku.

“Di sini kita pertama kali kenal, saat kita rebutan beli pentol, lalu tomatnya tumpah ke baju kita…” jawabnya dengan senyum yang mengembang.

“Bukan cuma itu…”

“Ya, di sini juga tempat dulu kamu nembak aku dan aku langsung nerima kamu…”

“Sayang, coba kamu lihat bintang-bintang di atas sana, indah bukan?”

“Iya, indah sekali. Sungai itu juga indah sekali dengan pantulan cahayanya.” Winda menjawab pelan. Disandarkannya kepalanya di bahuku.

Semoga saja yang kulakukan ini cukup untuk membuatnya tidak lagi curiga denganku.

20-3-2010

Perjuanganku mendapatkan cinta Samiyah semakin menjadi-jadi. Berbagai macam ‘cara standar’ untuk mendapatkan cewek sudah kulakukan, mulai dari ngasih bunga, ngasih boneka, ngirim puisi, menaruh kado di atas mejanya, de el el. Berita tentang perjuanganku itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dan pelosok SMA Pandulangan Martapura – sampai-sampai satpam penjaga gerbang sekolah pun tahu – , tak terkecuali Winda.

Pagi ini dia marah-marah kepadaku setelah membaca tulisan di mading: “Si Tajir Irfan Mati-Matian Ngejar Si Alim Samiyah Dengan Hasil Nihil, Gimana Si Manis Winda?”. Fotoku saat menyerahkan bunga pada Samiyah terpampang di sana dengan ukuran 8r, di sampingnya foto Winda yang sedang duduk di bangku dengan wajah murung. Ukurannya setengah lebih kecil, 4r !

“KENAPA KAMU TEGA, FAAAN…?” Teriaknya lantang. Aku tidak tahu kata-kata apa yang mesti keluar dari mulutku. “Sekarang aku tahu sudah kenapa kamu berubah… APA ARTI CINTA KITA SELAMA INI? Oke Fan, kalo memang itu yang kamu mau. Mulai sekarang KITA PUTUS…” Tak bisa lagi kubendung kata-katanya. Kemudian dia pergi meninggalkanku dengan air mata yang berjatuhan di pipinya. Sebelum pergi dia melemparkan gelang pemberianku yang selalu dipakainya sejak SMP.

Dia terus meninggalkanku, dan sekarang tidak lagi dengan berjalan, melainkan berlari. Tangannya sesekali menyeka pipinya yang basah oleh air mata. Aku diam saja, tidak bisa bicara apa-apa dan juga tidak mengejarnya. Meski aku berhasil mengejarnya, apa yang harus kukatakan. Kesalahanku sudah jelas. Maafkan aku Winda…

21-3-2010

“Miyah, apalagi yang harus kulakukan supaya kamu ngerti kalo aku beneran suka kamu. Terimalah aku, Miyah! Aku sungguh-sungguh…” suaraku nyaring, karena jarak aku berdiri dengannya dua meter, tidak bisa lebih dekat lagi.

“Irfan! Sebaiknya kamu berhenti memaksaku jadi pacar kamu, aku gak mau pacaran. Dan gara-gara kamu aku jadi dipermalukan!” Suaranya tidak kalah nyaring. Semua pengunjung perpustakaan menatap kami marah. Lalu Samiyah pergi, mungkin ia malu.

Tidak papa. Semangatku tidak akan luntur cuma gara-gara ini. Sore ini aku akan ke rumahnya dan bilang terus terang pada orang tuanya.

Dan sore ini aku benar-benar ke rumahnya. Tidak sulit mencari rumah besar bercat hijau dengan nomor 75 di kelurahan Tabing Rimbah itu. Kupencet bel yang ada di samping pintu. Sejurus kemudian pintu dibuka dan Samiyah tampak di ambang pintu.

“Ngapain kamu ke sini?” Jelas sekali bahwa dia jengkel.

“Aku mau ngomong sama orang tua kamu kalo ak…”

“Mereka gak ada,” potongnya segera sambil menutup pintu.

Sebelum pintu ditutup, “Samiyah, aku sungguh-sungguh mencintai kamu. Sumpah!”

“Irfan, cinta yang sungguh-sungguh itu cuma ada setelah pernikahan.” Dia menjawab dengan pelan namun jelas. Pintu kemudian ditutup keseluruhan.

3-1-2014

Dosen terus menerangkan tentang seluk beluk operasi. Sesekali beliau melucu, dan para mahasiswa dan mahasiswi tertawa terpingkal-pingkal, termasuk Samiyah. Tidak denganku, tak satu pun kata dari dosen yang singgah di kepalaku. Kata itu cuma numpang lewat, masuk dari telinga kiri dan keluar lewat telinga kanan.

Perhatianku hanya satu, Samiyah! Tangan kananku menyangga dagu, dan mataku memandang lurus ke arah Samiyah. Ah, cantik sekali dia. Makin hari makin cantik. Rasanya tak ada yang lebih cantik dari dia. Bagiku dia seperti bidadari.

Jam terus berputar, dan dosen terus menerangkan, hingga mata kuliah habis. Mahasiswa dan mahasiswi AKPER berhamburan pulang.

Mobil kujalankan meninggalkan area parkir AKPER Seribu Sungai menuju Duta Mall.

“Kalau yang ini berapa, Mbak?”

“Kalau yang itu lebih mahal, Mas. Harganya tiga belas juta lima ratus ribu. Yang itu matanya menggunakan batu zamrud asli.” Pelayan toko permata itu kembali mengeluarkan cincin yang kutunjuk.

“O… jadi yang lainnya palsu ya?” Candaku pada pelayan tadi, maksudnya supaya mudah ditawar.

“Bukan begitu, Mas. Yang lainnya itu menggunakan berlian, tidak zamrud seperti yang itu.”

Aku hanya tersenyum. Cincin itu kuamati dengan teliti. Bagus, cocok dengan Samiyah yang suka warna hijau.

“Bisa kurang, Mbak?”

“E…, baiklah. Tiga belas juta tiga ratus lima puluh ribu.”

“Nggak bisa kurang lagi, Mbak?” Pelayan itu lalu menjawab dengan menggeleng.

“Baiklah, saya beli yang ini.” Kuserahkan cincin bermatakan batu zamrud itu untuk dikemas. Lalu kuserahkan uangnya dengan pas.

“Terima kasih…” ucap pelayan itu seraya menyerahkan cincin tadi.

Sebelum pulang, aku menyempatkan singgah di toko buku. Di tempat kumpulan buku komputer, aku bertemu seseorang yang sudah lama kukenal, Dedi! Dan yang membuatku semakin terkejut ialah ternyata dia bersama Arif, temanku dulu waktu SMP.

“Hei…Irfan!” Sapa mereka berdua berbarengan.

“Lho, lu kenal Irfan juga ya?” Tanya Dedi pada Arif.

“Iya, dia temen gue dulu waktu SMP, Lu?” Arif balik bertanya.

“Gue temennya di SMA Pandulangan…”

Pembicaraan kami pun berlangsung seru. Dari pembicaraan itu akhirnya aku tahu bahwa Dedi dan Arif sama-sama kuliah di STMIK Banjarbaru; Ilham jadi sopir taksi jurusan Banjarmasin-Hulu Sungai; Wahyu jadi buruh bangunan; dan Winda kuliah di Jogja, di Universitas Gajah Mada. Dulu aku dan Winda memang pernah punya impian sama-sama kuliah di UGM sampai selesai S1, kemudian melanjutkan S2 dan S3 di Oxford University, Inggris.

“Terus, si Samiyah yang lu kejar-kejar sampe lu rela kuliah di AKPER itu gimana?”

“Tenang, teman…,” jawabku santai sambil mengeluarkan cincin tadi dari kotak merahnya, “Besok gue mau melamar dia…”sambungku dengan seulas senyum.

Di perjalanan pulang, HP-ku berbunyi. Kubaca SMS yang baru masuk itu:”Hai cwo..Knln dong!(^cwe imoet^)”

Dengan tegas kubalas SMS itu dengan: “Cnt yg sunggh2 cm ada stlh pnkhn.”

Entah mengapa kata-kata dari Samiyah empat tahun yang lalu itu begitu membekas di hatiku sampai sekarang. Dan sejak itu pula aku jadi rajin mempelajari Islam.

4-1-2014

Sama seperti hari-hari sebelumnya, mataku tak pernah lepas dari gadis cantik bernama Samiyah yang duduk tak jauh di depanku. Kulihat tangannya sedang menulis penjelasan dari dosen.

Samiyah, kamu cantik luar dalam. Hari ini, Samiyah. Hari ini! Akan kubuktikan kesungguhan cintaku!

Sore ini, aku dan kedua orang tuaku berangkat ke Martapura, ke rumah Samiyah. Sepanjang jalan kurasakan seperti taman bunga yang bunganya sedang bermekaran dan menebar aromanya yang sangat wangi.

“Sebelumnya kami sangat berterima kasih pada Pak Irwan sekeluarga karena sudah mau jauh-jauh datang ke rumah kami yang sederhana ini…” ujar ayah Samiyah setelah mendengar maksud kedatangan kami dari Papa. “Dan kami merasa sangat terhormat karena Nak Irfan putra Bapak ternyata suka dengan putri kami… Namun kami banyak-banyak minta maaf Pak Irwan, karena Anda terlambat. Sekitar seminggu yang lalu Ustadz Ihsan Lc. melamar Samiyah, dan Samiyah menerimanya. Jadi sekali lagi kami mohon maaf karena tidak bisa memenuhi keinginan Bapak sekeluarga.”

Kata-kata ayah Samiyah yang lembut itu begitu tajam menusuk hatiku. Apalagi titel seseorang yang lebih dulu melamar itu, “Lc” atau License. Menandakan bahwa orang itu lulusan universitas di Timur Tengah, berbeda sekali denganku yang tak punya titel apa-apa.

“Kalau kami boleh tahu, Ustadz Ihsan Lc. itu siapa ya? Perasaan saya pernah dengar.” Tanya Papa basa-basi, juga dengan ramah lembut.

“Ustadz Ihsan Lc. itu lulusan S1 Al-Azhar Kairo, dia sering mengisi ceramah di Mesjid Sabilal Muhtadin. Dan sekarang dia tengah mengajar di Pondok Pesantren Al Falah,” jawab ayah Samiyah menjelaskan.

“Pernikahannya rencananya kapan?”

“Rencananya sih setelah Samiyah selesai kuliah dan sudah punya pekerjaan.”

“Masih banyak gadis cantik yang solehah…” hibur Mama kepadaku saat kami sudah ada dalam mobil.

“Tapi yang mau jadi istri Irfan mungkin tidak ada..” ucapku pelan. Air mataku berjatuhan

21-10-2017

Aku sedang menimang-nimang Adelia, putriku yang baru berumur 11 bulan. Di sampingku istriku, Samiyah, tersenyum melihat tingkah lucu Adelia yang tak pernah mau tertawa bila aku yang menimangnya.

Ya, Samiyah. Dua tahun yang lalu, sebulan sebelum hari yang sudah direncanakan untuk pernikahannya dengan Ustadz Ihsan Lc., temanku mengabariku bahwa Ustadz Ihsan Lc. meninggal dunia karena kecelakaan. Ceritanya, ketika beliau selesai memberikan ceramah di Mesjid Al-Mukarramah, panitia Mesjid menawarkan untuk mengantar beliau pulang dengan mobil. Namun beliau menolak, karena beliau sudah minta jemput menggunakan motor. Di tengah jalan, hujan turun dengan lebat dan ketika itu listrik padam sehingga jalanan gelap. Dari sebelah tikungan tiba-tiba muncul truk dengan kecepatan tinggi dan kecelakaan yang membawa maut itu pun tak bisa lagi dihindari.

‘Kesempatan’ itu tidak kusia-siakan. Beberapa hari setelah aku mendengar berita itu, aku melamar Samiyah. Syukurlah, berkat perubahan tingkah lakuku sejak tujuh tahun yang lalu, aku diterima.

Kami sekarang tinggal di Samarinda karena aku diberi kepercayaan oleh ayahku untuk memimpin cabang perusahaan tekstil beliau yang berlokasi di daerah ini. Sedangkan istriku, dia menjadi perawat di RSUD Samarinda, setelah minta pindah tugas dari RSUD Ulin.

Tanpa kusangka, Adelia pipis di timanganku. Saat inilah si kecil Adelia mau tertawa, atau lebih tepatnya menertawakanku. Bahkan Samiyah juga ikut menertawakan.

“Assalaamu ‘alaikum yaa akhi… yaa ukhti…” HP-ku tiba-tiba berbunyi dengan lagu klasiknya yang dibawakan oleh Opick. Terlihat di layar Arif memanggil.

“Assalamu ‘alaikum…” aku memulai pembicaraan.

“Waalaikum salam,” jawab Arif di seberang sana.

Ada apa, Rif?”

Ada berita besar, Fan!” Suaranya terburu-buru.“Winda pulang dari Inggris…!” Sambungnya.

“O ya, cepat sekali…”

“Dan dia bawa bayi!”

“Haah ?”

“Dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata anaknya itu dibuat tanpa nikah dengan pacarnya yang orang Jerman. Tau Winda hamil, pacarnya itu malah ninggalin dia…”

“Apa ? Tau dari mana lu, Rif?

“Dia sendiri yang cerita ke gue.”

“Astagfirullah…”

Ada yang lebih mengejutkan lagi, Fan! Dia minta gue ngawinin dia… Gimana ini, Fan ?”

“?????????” []

Suara Hati Empat Jiwa


Tokoh 1 : Ustadz Badaruddin

Aku duduk bersila, menghadap ratusan santri. Kitab Al-Hikam kubacakan kata demi kata, lalu kata-kata itu kuartikan ke dalam bahasa Indonesia. Aku tidak ambil pusing dengan kosa kata yang tidak kuketahui artinya. Aku tinggal tak usah mengartikan kalimat itu. Dengan begitu, para santri akan berpikir : Mungkin Ustadz Badar menganggap kami sudah paham arti kalimat ini, jadi tidak perlu diartikan lagi.

Atau dengan cara yang lebih ’terhormat’, yaitu kuartikan saja kata itu dengan kata itu sendiri, seolah kata itu sudah menjadi istilah yang umum. Atau dengan isim masdarnya¹ namun diberi imbuhan me- dan -kan.

Suasana Mushalla tempat aku membacakan kitab ini lumayan gaduh. Mungkin karena isi kitab ini kurang menarik, atau karena suaraku yang pelan dan terlalu cepat. Ah, biarlah.

Situasilah yang telah membuatku menjadi seorang Ustadz. Belasan tahun yang lalu aku menyelesaikan pendidikan di pesantren ini. Nilaiku pas-pasan dan aku pesimis akan mendapat pekerjaan yang layak di luar pondok sana. Maka oleh karena itu kuajukan permohonan kepada yayasan pondok ini untuk menjadikanku karyawan.

Keberuntungan menyapaku. Yayasan mengangkatku menjadi petugas kebersihan ruang kantor. Pekerjaan yang lumayan ringan tanpa perlu tenaga besar dan keahlian khusus.

Setelah beberapa tahun menjalani pekerjaan itu, ketua yayasan yang baru dilantik prihatin denganku. Dan aku diangkat beliau menjadi seorang Ustadz, meskipun hanya Ustadz di kelas yang paling rendah. Namun, seiring dengan bergulirnya masa, posisiku perlahan naik. Dan sekarang aku sudah menjadi Ustadz di kelas aliyah, kelas yang paling tinggi di pesantren ini. Dan menjadi pembaca kitab Al-Hikam di Mushalla pesantren ini setiap malam Rabu.

Kali ini aku menemukan lagi kosa kata yang tidak aku ketahui artinya, yaitu kata “harradha”. Ini tak masalah, kuterjemahkan saja dengan “mentahridhkan”. Tapi, sebelum aku mengucapkannya, listrik seketika padam. Mushalla gelap, suasana semakin gaduh. Santri-santri yang tadinya cuma bicara pelan kini teriak-teriak. Bagiku, keadaan ini semakin menolongku. Tak lama setelah itu, masuk seorang keamanan dari staf OSIS. Dia teriak-teriak menegur.

“TENAAANG... TENAAANG... !” Begitulah teriaknya.

Para santri seolah tidak mendengar dengan teriakan itu. Mereka tetap saja ribut. Beberapa detik kemudian, terdengar suara kaca pecah. Mushalla menjadi senyap dengan seketika.

“SIAPA LAGI YANG BERANI RIBUT? KALAU BERANI, KELUAR ! HADAPI SAYA…” Keamanan itu kembali teriak-teriak, seperti orang gila saja.

Tokoh 2: Waruk, santri kelas 1 tsanawiyah yang rajin

Bersandar di pintu Mushalla adalah hobiku saat mendhabith² kitab, karena meskipun udara di dalam Mushalla sangat pengap, aku masih bisa merasakan kesejukan udara malam dari luar.

Aku berusaha keras untuk konsentrasi, tapi keributan di sekitarku tak sedikit pun memberi toleransi. Belum lagi Ustadz yang membacakan arti kitab dengan meloncat-loncat, kami mengistilahkannya dengan “malingkau-lingkau”. Ditambah lagi bau kentut yang entah dari mana datangnya. Ah, sulit sekali konsentrasi.

“Ustadz… saya baru kelas satu tsanawiyah. Hapalan kosa kata bahasa Arab saya masih sedikit. Tolong artikan semuanya, jangan dilingkau-lingkau !” Aku cuma bisa mengeluh dalam hati.

Ketika Ustadz akan menerjemahkan kosa kata yang sebelumnya tak pernah kudengar, dan aku sudah siap dengan polpenku untuk mendhabith, tiba-tiba listrik padam. Keributan semakin menjadi-jadi. Tak begitu lama, masuk seorang keamanan yang langsung teriak-teriak.

"TENAAANG... TENAAANG... !" Teriaknya memekikkan telingaku.

"Kamulah sebenarnya yang paling ribut..." ucapku pada keamanan itu, tapi tentu saja cuma dalam hati.

Keributan masih saja terdengar di sana-sini. keamanan itu mengambil kreatif dengan memukul kaca pintu Mushalla yang tinggal satu-satunya, yang satunya lagi sudah pecah lebih dulu, juga karena keamanan yang marah-marah.

Praaanggg !

Setelah terdengar bunyi kaca pecah itu, suasana menjadi tenang. Bahkan temanku Udin yang ingin batuk pun menahan batuknya agar tidak menimbulkan suara. Pecahan kaca berserakan di mana-mana, dan yang paling banyak tentu saja di atas sajadahku. Sialan!

"SIAPA LAGI YANG BERANI RIBUT? KALAU BERANI, KELUAR! HADAPI SAYA!" Masih tak puas rupanya keamanan itu bikin keributan.

Tokoh 3: Joko, anggota keamanan staf OSIS

Aku adalah salah seorang anggota keamanan. Aku sangat bangga dengan jabatan itu, karena aku akan dipandang sebagai orang yang gagah dan macho, bahasa kaminya : 'tacut'. Selain itu, menjadi keamanan juga mengasyikan. Aku bisa menyanksi anak-anak tsanawiyah sesuka hatiku, sebagai bentuk balas dendam atas para keamanan terdahulu yang menyanksiku waktu aku belum menjadi anggota OSIS. Sebuah kepuasan yang tidak mungkin didapat di bidang lain.

Malam ini aku tengah berbincang ria dengan teman-temanku di atas semen yang dibuat untuk tempat bunga. Semen itu terletak di depan asrama sekaligus di samping Mushalla dan pas sekali dijadikan tempat nongkrong.

Bintang-bintang terlihat mengerumuni kehitaman langit tanpa ada bulan dan awan yang menghalangi keindahannya. Dari moncong mic yang ada di samping Mushalla yang memprihatinkan itu terdengar suara Ustadz Badar sedang membacakan kitab Al-Hikam.

Ketika beliau sedang ingin mengartikan, tanpa disangka, listrik padam. Keadaan menjadi gelap. Mesin jinset yang kemarin dibeli dengan iuran 2.000 rupiah dari setiap santri tidak bisa bekerja dengan baik lagi, atau yang lebih tepatnya rusak.

Dari dalam Mushalla mendengung-dengung suara ribut dari para santri. Inilah giliranku. Saatnya aku beraksi.

"TENAAANG... TENAAANG...!" Tegurku dengan lantang. Tapi para santri memang menjengkelkan, mereka masih saja gaduh. Mereka meremehkanku rupanya. Segera aku mendekati pintu Mushalla yang setengah di atasnya adalah kaca. Kupukul kaca itu dengan kepalan tanganku dan...

Praaangg!

Kaca pintu itu pecah, dan pecahannya berserakan. Sebagian pecahannya juga tertinggal di tanganku. Menancap. Sehingga tetesan-tetesan darah berebut keluar dari lubang yang tercipta oleh pecahan kaca itu. Aku berusaha menahan perih. Keadaan Mushalla memang tenang, namun hatiku sangatlah tidak tenang karena menahan rasa sakit di tanganku.

Ah, daripada ketahuan kalau sedang kesakitan lebih baik kulanjutkan aksiku.

"SIAPA LAGI YANG BERANI RIBUT?" Ucapku dengan wajah yang tegar dan sangar seperti tidak merasa sakit sedikit pun. "KALAU BERANI, KELUAR! HADAPI SAYA!" Lanjutku dengan gaya menantang seraya berjalan ke tengah-tengah Mushalla.

Tokoh 4: Kucang, satri kelas 2 tsanawiyah yang suka ribut.

Lidahku akan terasa gatal bila aku tidak bicara. Oleh karena itu kuajaklah teman-teman di sampingku bicara sambil sesekai bercanda. Aku sadar bahwa yang kulakukan ini tidak ada manfaatnya, tapi bagiku itu lebih baik daripada cuma diam, mendengarkan Ustadz yang membacakan kitab dengan sepat dan tidak jelas. Cuma membuat telinga kewalahan!

Yang kami bicarakan macam-macam, mulai dari masalah cewek, harga-harga HP, kartu-kartu yang tarifnya murah, film-film seru, website-website keren, de el el.

Perutku tiba-tiba terasa sakit dan punya beban, lalu...

Pesshhh...

Pelan namun pasti. Tak mungkin terdengar oleh manusia-manusia di sekitarku. Tambah lagi suara microphone dari Ustadz Badar yang bersamaan bunyinya dengan kentutku. Meski suaranya pelan, baunya minta ampun. Aku pun sampai tidak tahan. Teman-teman di sekitarku menggerutu karena kebauan dan aku tenang-tenang saja. Namun tiba-tiba listrik padam, sehingga gerutu mereka berubah menjadi hamdalah.

"Alhamdulillah...," ucap mereka serempak seperti ada yang mengomandu.

Kami pun kembali berbicara dan bercanda gurau. Suara kami lebih bebas dari yang tadi. Tadi kami merasa tidak enak ribut di hadapan Ustadz, namun sekarang beliau tidak akan jelas melihat kami dan keributan kami menyatu dengan keributan kelompok lain.

Demi mengakhiri kegaduhan ini, masuk seorang keamanan yang teriak-teriak.

"TENAAANG... TENAAANG...!" Seperti itulah teriaknya.

Mungkin karena merasa tegurannya tidak ada artinya, dia pun memukul kaca pintu dengan genggaman tangannya dan...

Praanggg !

"SIAPA LAGI YANG BERANI RIBUT? KALAU BERANI, KELUAR! HADAPI SAYA!" Teriaknya lagi sambil berjalan ke tengah-tengah Mushalla, melewatiku. Ada darah yang menetes ke hidungku. Aku yakin, darah itu pasti dari tangan si keamanan tadi yang tertusuk pecahan kaca.

Ha... ha... ha..., rupanya sebelumnya dia tidak memikirkan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Ha... ha... ha..., aku kembali tertawa, tapi cuma dalam hati. []

1) isim masdar: kata dasar dari sebuah kata bahasa Arab.

2) mendhabith: menulis arti dari kosa kata bahasa Arab di bawah kosa kata tersebut.